Disusun oleh : Redaksi Al-Hujjah
Buletin Al-Hujjah Vol: 08 -IX/Rabi'ul
Awwal-1429 H/April-08
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبعونِي
يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ
وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
"Katakanlah: 'Jika kamu (benar-
benar) mencintai Allah, ikutilah
aku (Muhammad), niscaya Allah
mencintaimu dan mengampuni
dosa-dosamu.' Allah Maha
Pengampun lagi Maha
Penyayang."
[QS. Ali 'Imraan: 31]
Jika hendak diartikan secara
harfiah, Ayat-Ayat Cinta berarti
Tanda-Tanda Cinta. "Tanda-
tanda cinta kepada Allah dan
Rasul-Nya", makna inilah yang
hendak kami angkat sebagai titik
sentral kajian Tafsir kita kali ini.
Menilik fenomena belakangan ini,
dimana kaum muslimin seolah
kehilangan figur sejati untuk
dicintai. Mereka berbondong-
bondong mengidolakan tokoh
fiktif novel ketimbang Rasulullah
Shalallahu 'alaihi wa salam,
teladan sejati -yang riil (nyata)-
bagi kaum muslimin dalam hal
cinta dan ketulusan
Tafsir Ayat
Dikisahkan oleh Imam al-Baghawi
dalam tafsirnya Ma'aalimut Tanziil
(1 /341 . Cet. Daar Thoyyibah 1423
H), bahwa ayat ini turun ketika
Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa
salam berkata kepada kafir
Quraisy yang tengah bersujud
menyembah berhala (simbol
tokoh-tokoh wafat yang
dikeramatkan); "Wahai segenap
kaum Quraisy! Sungguh kalian
telah menyalahi agama Bapak
kalian, Ibrahim dan Isma'il". Kafir
Quraisy lantas menjawab: "Kami
menyembah berhala itu semata-
mata cinta kepada Allah, agar
mereka (tokoh-tokoh wafat
yang dikeramatkan itu)
mendekatkan kami kepada Allah" .
Maka Allah menjawab dengan
ayat di atas.
Ulama tafsir yang lain
mengaitkan ayat ini sebagai
jawaban atas klaim Yahudi dan
Nashrani yang mengatakan
bahwa merekalah anak-anak
Allah dan kekasih-kekasih-Nya,
sebagaimana yang termaktub
dalam (QS. Al-Maa-idah ayat 18 ):
"(Artinya) Orang-orang Yahudi
dan Nasrani mengatakan: 'Kami
ini adalah anak-anak Allah dan
kekasih-kekasih-Nya'...." [lih.
Ma'aalimut Tanziil: 1 /341]
Terlepas dari latarbelakang
turunnya ayat, para ulama tafsir
sepakat menjadikan ayat
tersebut sebagai "ayat cinta"
yang menguji kejujuran dakwaan
cinta seorang pecinta kepada
yang dicintai (Allah). Sebagaimana
diungkapkan oleh Imam Hasan al-
Bashri rahimahullaah: "Suatu
kaum mengaku cinta kepada
Allah, maka Allah menguji mereka
dengan ayat ini". [Tafsir Ibnu
Katsir: 2 /299 , Cet. Daar Ibn Hazm
1419 H]
Betapa indahnya ungkapan Ibnul
Qayyim rahimahullaah ketika
menafsirkan ayat cinta ini
[Raudhatul Muhibbiin: 251 . Lih.
Badaa-i'ut Tafsiir: 1 /498]: "Maka
Allah menjadikan ittiba'
(mengikuti) Rasul sebagai bukti
kecintaan mereka kepada Allah.
Keadaan seorang hamba yang
dicintai Allah lebih tinggi dari
keadaannya yang mencintai Allah.
Permasalahannya bukan pada
(pengakuan) cintamu kepada
Allah, akan tetapi (apakah) Allah
mencintaimu. Maka ketaatan
kepada yang dicintai (Allah dan
Rasul) adalah bukti cinta
kepada-Nya, sebagaimana
diungkapkan (dalam syair)
Artinya:
"Engkau bermaksiat kepada ilahi,
sedangkan engkau mendakwa
cinta kepada-Nya"
"Ini dalam analogi adalah
kemustahilan yang diada-
adakan"
"Jika saja dakwaan cintamu
jujur, niscaya engkau akan
mentaati-Nya"
"Sesungguhnya seorang pecinta
terhadap yang dicintai, akan
taat"
Semua orang, entah ia jujur
dalam ketaatannya atau
seorang munafik yang bermuka
dua, bisa berucap: "Saya
mencintaimu Yaa Allah", namun
apakah Allah membalas cintanya?
Inilah yang menjadi inti
permasalahan. Maka bukti
kejujuran seorang hamba dalam
mencintai Allah adalah ittiba'-nya
kepada Rasulullah Shalallahu
'alaihi wa salam. Tentu saja yang
dimaksud ittiba' di sini adalah
dalam segala hal, baik yang
dicontohkan untuk kita kerjakan
ataupun yang beliau tinggalkan
(tidak kerjakan) untuk kita
tinggalkan pula
0 komentar